Menurut aslinya mengkaji atau mempelajari ilmu Al quran dan Hadits itu harus dengan cara manqul musnad, muttashil dan muhlis karena Allah. Kerana penyampaian ilmu Al Quran dan Hadits dengan cara manqul, musnad, muttashil adalah cara yang dipraktikkan oleh Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam, para sahabat, para tabi’in dan ulama-ulama sholihin.
Dari beberapa ayat Al Quran dan Hadits yang telah kita kaji bersama secara manqul kita telah mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wasallam dengan sistem manqul yaitu dimanqulkan oleh Malaikat jibril secara teori dan praktik. Misalnya ketika Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam menerima kemanqulan bacaan Al Quran diperingatkan untuk tidak tergesa-gesa menggerakkan lisannya mendahului Malaikat Jibril tetapi supaya memperhatikan dahulu setelah Malaikat Jibril selesai membacakan Al Quran, Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam baru disuruh mengikuti bacaan tersebut.
Firman Allah : “Kamu jangan menggerakkan lisanmu (untuk mendahului Malaikat Jibril dalam membaca Al Qur'an) kerana tergesa-gesa dengannya. Sesungguhnya atas kami pengumpulan Al Qur'an dan bacaannya. Maka ketika selesai kami bacakan Al Quran itu maka ikutilah bacaannya kemudian sungguh ada pada kami keterangan Al Quran itu. (Al Qiyaamah 16-19)
Contoh lagi ialah pada waktu Allah menurunkan wahyu pertama kali yaitu surah Al-Alaq, Malaikat Jibril membacakan lafaz iqro, maka Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam juga menirukan lafaz iqro. Contoh lagi pada waktu Allah menurunkan wahyu tentang waktunya sholat. Malaikat Jibril menunjukkan waktunya sholat dengan cara mengajak sholat bersama setiap waktu solat selama 2 hari berturut-turut yaitu hari pertama dikerjakan waktu awalnya sholat dan hari kedua dikerjakan pada waktu akhirnya sholat. Setelah itu Rosululloh dan ummatnya disuruh mengerjakan sholat pada waktu yang telah ditentukan antara awal dan akhirnya waktu sholat.
Para sahabat dan para tabi’in juga menggunakan ilmu manqul. Sufyan bin Uyainah pernah bercerita : Zuhri (perowi hadits) pada suatu hari meriwayatkan sebuah hadits, maka aku berkata ” Ceritakan padaku tidak usah pakai isnad”. Imam Zuhri menjawab: “Apakah engkau bisa naik loteng tanpa naik tangga?”.
Imam Tsaury berkata: “Isnad itu senjata orang mu'min”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Mencari isnad yang luhur itu sunnah orang dulu karena sesungguhnya teman-teman Abdulloh itu berangkat dari Kufah menuju Madinah, mereka belajar dari Umar dan mendengarkan beliau”.
Ibnu Mubarok (peroawi hadits) berkata di dalam muqodimah Hadits Riwayat Muslim
“Dari Ahli Marwa berkata, saya mendengar Abdan bin Usman berkata, saya mendengar dari Abdullah bin Mubarok ia berkata “Isnad itu termasuk agama dan seandainya tidak ada isnad maka orang akan berkata (masalah agama) sesuka hatinya”
Imam Hakim dan lain-lainnya meriwayatkan dari Mathor al Waroq mengenai firman Allah:
“… datanglah kepadaku dengan kitab sebelum ini atau atsar/labet/isnad dari ilmu jika kamu sekelian orang-orang yang benar” (Surah Al-Ahqaaf :4)
Dia berkata: “Atsarotin adalah isnadul Hadits”
Muhammad bin As-Syafi'i yang menyusun kitab Hadits Musnad Syafi'i beliau mempelajari kitab Hadits Muwatho’ yang disusun oleh Imam Malik. Beliau hafal di luar kepala seluruh isi kitab Muwatho’ tersebut dan faham isinya. Mengingatkan wajibnya manqul maka Imam Abu Idris As Syafi'i memerlukan datang ke Madinah semata-mata untuk menemui Imam Malik dan mengesahkan ilmunya dengan cara manqul langsung, Imam As Syafi'i membaca kitab Muwatho’ secara hafalan dan Imam Malik diam mendengarkannya.
Di dalam Hadits Bukhori diriwayatkan : Jabir bin Abdillah merantau sejauh perjalanan satu bulan menemui Abdullah bin Unais hanya untuk mendapatkan satu Hadits Saja.
Mengaji Al Quran dan Hadits dengan cara manqul, musnad, muttashil bukan sekedar metode tetapi hukumnya “WAJIB”
“Kamu mendengarkan dan akan didengarkan dan orang yang telah mendengar dari kamu akan didengar pula.” (Riwayat Abu Dawud)
“Dari sahabat Jundab ia berkata: Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam telah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan (menerangkan) kitab Allah yang Maha Mulya dan Maha Agung dengan pendapatnya (secara tidak manqul), walaupun benar maka sungguh ia telah salah” (Riwayat Abu Daud).
Sedangkan mengkaji Al Quran dan Hadits tanpa manqul atau Ro’yi dilarang dalam agama Islam dan diancam dimasukkan ke dalam neraka. Berarti hukumnya “HARAM” berdasarkan dalil
“Dari Ibnu Abbas rodliallohu anhu berkata bahwa Rosulullohi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda “Barang siapa membaca Al Quran tanpa ilmu (tidak manqul) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka” (Riwayat At Tirmizi 278)